Pada masa awal karirnya membangun bisnis McDonald’s, Ray Kroc sangat kesulitan. Walau brand perlahan sudah mulai dikenal luas masyarakat Amerika, antrean pengunjungnya selalu ramai di setiap gerai, service relatif tidak bermasalah, dan jumlah franchisee terus bertambah, namun tak dapat dipungkiri profitabilitas kecil sekali bahkan hampir mendekati kebangkrutan. Tidak ada cadangan uang tunai, margin keuntungan hanya 1,4% dari setiap burger yang terjual seharga 15 sen, dan beban operasional terus meningkat tinggi. Upaya apapun yang dilakukan untuk memperbaiki menemui jalan buntu, karena Ray Kroc terikat kontrak partnership eksklusif dengan Dick bersaudara, duo pemilik gerai McDonald’s perdana di San Bernardino, California. Bahkan untuk sekedar mengganti milkshake berbahan susu asli dengan milkshake bubuk yang rasanya mirip-mirip saja dengan ongkos yang jauh lebih murah izin tak juga didapatnya dari Dick bersaudara. Setiap perubahan dalam hal operasional gerai, sekecil apapun, harus disetujui tertulis terlebih dahulu oleh Dick bersaudara.
Di tengah frustrasi, Ray Kroc bertemu dengan Harry J. Sonneborn, seorang konsultan manajemen khususnya bidang investasi dan keuangan. Sama halnya seperti pelatih tinju Muhammad Ali, sang pelatih tidaklah lebih mahir bertinju dibanding Ali. Atau Peter Drucker yang merupakan seorang dosen peneliti dan penulis, namun nasehatnya didengarkan oleh Jack Welch, CEO General Electric Corporation. Para konsultan tidaklah secakap businessman atau entrepreneur yang menjadi kliennya, namun mereka memiliki keahlian untuk mengumpulkan dan mengolah data yang ada, melakukan analisa mendalam, menemukan akar masalah, dan merumuskan solusinya. Mereka mampu melihat dengan sudut pandang yang berbeda. Demikian pula halnya dengan Harry J. Sonneborn.
Selama ini para franchisee McDonald’s memakai tanahnya masing-masing, menyewa lisensi operasional bisnis untuk minimal 20 tahun, dan membangun gerainya di tanah mereka. Mereka memilih tempatnya sendiri. McDonald’s hanya menyediakan sistem operasional standar dan pelatihan pendampingan selama gerai tersebut beroperasi. Fee setiap bulan yang ditarik dari semua gerai franchisee adalah pemasukan bagi McDonald’s. Disinilah akar masalahnya. Menurut sang konsultan, letak uang dan keuntungan bukanlah pada setiap burger yang dijual tapi pada uang sewa tanah tempat gerai tersebut berdiri.
Harus dibentuk sebuah perusahaan baru yang terpisah dari perusahaan pemegang lisensi waralaba McDonald’s, dan eksklusif hanya menyediakan jasa sewa tanah untuk para franchisee McDonald’s. Setiap franchisee wajib menyewa tanah tempat gerai beroperasinya hanya dari perusahaan properti ini, dan memang hanya untuk disewakan kepada para franchisee dari McDonald’s saja. Dengan demikian, akan ada stabilitas pemasukan bagi Ray Kroc karena pendapatan di muka yang terus ada dan uang akan mengalir sebelum fondasi bangunan gerai dibangun. Juga modal yang lebih besar untuk ekspansi pembelian lahan baru akan tersedia, dan yang paling penting kontrol atas franchisee. Bila mereka gagal dalam mempertahankan kualitas pelayanannya, hak sewa mereka dapat dibatalkan. Aset dalam bentuk land banks akan berlimpah dan gerai franchisee akan terus bertumbuh. Milikilah tanah dimana burger itu dimasak kata Harry J. Sonneborn kepada Ray Kroc. Dan karena ini bukan mengatur apa yang terjadi di dalam operasional gerai sehari-hari, yang menjadi bagian dari wewenang Dick bersaudara, maka hal ini dapat dibenarkan.
Sejak itu, bisnis McDonald’s maju pesat luar biasa tak terbendung. Betul bahwa mereka adalah the biggest restaurant business in the world, secara operasional. Namun sejatinya, bisnis utamanya adalah properti, kepemilikan tanah. You are not in burger business, you are in real estate business.. Pertanyaannya kini, sudah tepatkah sistem, strategi, atau struktur pada bisnis, organisasi, dan perusahaan kita saat ini? Apakah modal keuangan, model bisnis, atau justru manusianya yang menjadi akar masalah? Sebuah pelajaran yang sangat berharga dari Ray Kroc, pebisnis legendaris dunia.
Komentar
Posting Komentar